Partner Terpercaya dalam Solusi Pajak

Author: admin

Masa pengampunan pajak sampai 31 Maret 2017

Semakin panjang masa pengampunan pajak berlaku, diperkirakan berimbas positif pada proyeksi penerimaan negara. Dalam UU pengampunan pajak yang diterima KONTAN disebutkan, pelaksanaan pengampunan pajak atau tax amnesty akan dilakukan dalam tiga tahap, masing-masing tiga bulan.

Jika kebijakan ini mulai efektif bulan Juli, masa waktu terakhir pengajuan pengampunan pajak adalah tanggal 31 Maret 2017. Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan, penerimaan pajak yang bisa dicapai lebih dari Rp 165 triliun.

Namun, untuk penerimaan pajak yang ditargetkan masuk pada tahun 2016 tetap Rp 165 triliun. Sementara sisanya, penerimaan pajak dari pembayaran uang tebusan dari wajib pajak yang mengikuti tax amnesty di tiga bulan terakhir, atau mulai Januari-Mei 2017.

Hanya saja, ia enggan menyebutkan berapa target penerimaan pajak dari pelaksanaan pengampunan pajak di tiga bulan terakhir. “Itu sifatnya memberi ruang wajib pajak yang kesulitas secara administrasi,” kata Bambang, Selasa (28/6) di Jakarta.

Dalam beleid pengampunan pajak itu disebutkan pada periode terakhir pelaksanaan, pemerintah menetapkan tarif uang tebusan yang lebih tinggi, yaitu sebesar 5% untuk yang melakukan repatriasi atau pengalihan aset. Sedangkan bagi yang hanya melakukan deklarasi atau pengungkapan aset diberikan tarif 10%.

Sebelumnya, untuk WP yang mengajukan pengampunan di tiga bulan pertama dikenai tarif uang tebusan 2% untuk repatriasi dan 4% untuk deklarasi. Sedangkan di tiga bulan berikutnya sebesar 3% untuk repatriasi dan 6% untuk deklarasi.

Sumber: http://nasional.kontan.co.id/news/masa-pengampunan-pajak-sampai-31-maret-2017

Continue Reading

TAX AMNESTY: Hari Ini RUU Pengampunan Pajak Disahkan, Ini Harapan Menkeu

JAKARTA- RUU Pengampunan Pajak akan dsahkan pada hari ini, Selasa (28/6/2016).

Hari ini, Rapat Paripurna dijadwalkan mengesahkan RUU Pengampunan Pajak tersebut.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menegaskan kebijakan pengampunan pajak yang bertujuan untuk repatriasi modal dari luar negeri, bisa membantu untuk menggerakkan kembali perekonomian nasional yang sedang lesu.

“Diharapkan dengan adanya pengampunan pajak, maka dana itu akan masuk dan membantu menggerakkan ekonomi domestik,” kata Bambang seperti dikutip Antara, Selasa (28/6/2016).

Bambang menjelaskan saat ini persaingan untuk merebut modal makin sengit, seiring dengan ketidakpastian yang dialami perekonomian Eropa setelah hasil referendum Inggris yang menyatakan ingin keluar dari Uni Eropa (Brexit).

Momen ini seharusnya bisa dimanfaatkan oleh Indonesia yang bisa mendapatkan dana untuk mendorong perekonomian, terutama dari Wajib Pajak (WP) yang selama ini belum melaporkan aset maupun modalnya di luar negeri kepada otoritas pajak.

“Negara maju memiliki masalahnya sendiri, belum ada sumber pertumbuhan yang mapan. Maka kita mendatangkan inflow sebanyak-banyaknya, agar ekonomi bisa pulih,” katanya.

Menurut perkiraan, dari kebijakan pengampunan pajak selama sembilan bulan hingga 31 Maret 2017, terdapat dana repatriasi dari luar negeri sebesar Rp1.000 triliun dan deklarasi aset hingga Rp4.000 triliun dengan tambahan penerimaan pajak Rp165 triliun.

Dana repatriasi modal tersebut dapat diinvestasikan bagi Surat Berharga Negara, obligasi BUMN, obligasi lembaga pembiayaan yang dimiliki pemerintah, investasi keuangan pada bank persepsi dan obligasi perusahaan swasta yang perdagangannya diawasi OJK.

Modal tersebut juga bisa dimanfaatkan untuk investasi infrastruktur melalui kerja sama pemerintah dengan badan usaha, investasi sektor riil berdasarkan prioritas yang ditentukan pemerintah atau investasi lainnya yang sesuai peraturan perundang-undangan berlaku.

Pemerintah mengharapkan dana tersebut bisa mendorong kembali pertumbuhan ekonomi, apalagi konsumsi rumah tangga dan investasi belum sepenuhnya memberikan kontribusi yang maksimal kepada perekonomian nasional.

Sumber: http://finansial.bisnis.com/read/20160628/10/561874/tax-amnesty-hari-ini-ruu-pengampunan-pajak-disahkan-ini-harapan-menkeu

Continue Reading

Perusahaan Multinasional: OECD Perangi Praktik Kecurangan Pajak

Para pejabat dari 31 negara akhirnya menyepakati kerja sama pertukaran dan keterbukaan informasi pajak guna menanggulangi praktik kecurangan pajak yang dilakukan beberapa perusahaan multinasional.

Sekertaris Jenderal Organization for Economic Co-operation and Development (OECD)Angel Gurria mengatakan, perjanjian Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA) ini  akan membuka secara otomatis, proses pertukaran informasi pajak antarnegara.

Perjanjian yang ditandatangani di Paris, Perancis (Rabu, 27/1) oleh 31 pejabat dari 31 negara yang telah menyepakati kerja sama ini, akan menjadi titik awal pelaksanaan Proyek OECD / G20 Basic Erotions and Profit Shifting (BEPS) yang telah dibahas dalam pertemuan G20 di Antalya, Turki akhir tahun lalu.

“Kerja sama ini akan memberikan dampak langsung dalam meningkatkan kerjasama internasional tentang isu-isu pajak, serta meningkatkan transparansi operasi perusahaan multinasional,” kata Gurria.

Dia menambahkan melalui perjanjian multilateral ini, informasi pajak akan dipertukarkan antara otoritas perpajakan tiap negara anggota. Nantinya, kerja sama ini akan memberikan setiap negara, gambaran global serta indikator kunci dari bisnis perusahaan multinasional.

“Program ini sangat dibutuhkan untuk memastikan bahwa perusahaan membayar pajak secara adil dan tertib, serta mematuhi aturan dalam BEPS,” lanjutnya.

MCAA ditargetkan memberikan kemudahan bagi negara-negara anggota  untuk mengimplementasi secara cepat dan konsisten dalam menyusun standar pelaporan transfer pricing yang baru. Susunan standar pelaporan transfer pricing secara internasional saat ini telah dimasukkan dalam 13 Rencana Aksi BEPS (Action 13 of the BEPS Action Plan).

Nantinya, otoritas pajak tiap negara akan memperoleh pemahaman lengkap tentang cara perusahaan multinasional menjalankan struktur operasi mereka. Namun demikian, setiap negara juga dituntut untuk menjaga kerahasiaan informasi struktur operasi perusahaan multinasional.

Program ini recananya akan mengikat sekaligus mengatur perusahaan multinasional untuk membayar pajak sesuai dengan nilai keuntungan dan transaksi yang dilakukan di negara bersangkutan.

Bagi negara berkembang, program ini diyakini memberi efek positif yang besar. Pasalnya, hingga saat ini negara berkembang masih memiliki ketergantungan yang besar terhadap pajak penghasilan badan, terutama dari perusahaan multinasional.

Negara anggota menyepakati, program kerjasama ini akan dimulai pada 2016, yang nantinya akan menjadi bahan acuan pemungutan perpajakan pada 2017-2018. Hingga saat ini, 31 negara yang telah menyepakati kerja sama ini a.l. Australia, Austria, Belga, Chile, Kosta Rika, Republik Ceko, Denmark, Estonia, Finlandia, Prancis, Jerman, Yunani, Irlandia, Italia, Jepang, Liechtenstein, Luksemburg, Malaysia, Meksiko, Belanda, Nigeria, Norwegia, Polandia, Portugal, Slovakia, Slovenia, Afrika Selatan, Spanyol, Swedia, Swiss dan Inggris.

Saat ini, kawasan yang tengah gencar memberlakukan tarif dan aturan pajak baru bagi perusahaan multinasional adalah Uni Eropa. Hingga kini, sejumlah perusahaan raksasa seperti Google, Apple dan Amazon diduga telah melakukan siasat untuk mengurangi tagihan pajak mereka di kawasan Eropa. Google dan Apple bahkan telah diminta untuk membayar sejumlah utang tagihan pajak mereka selama beberapa tahun terakhir.

Penggelapan Pajak

Komisaris Urusan Ekonomi dan Pajak  Uni Eropa Pierre Moscovici mengatakan, pihaknya telah menyusun proposal untuk mengekang perusahaan multinasional melakukan penggelapan pajak. Mengacu pada BEPS, proposal ini rencananya akan disahkan pada Juni 2016, dan akan dipraktikan

“Perusahaan seharusnya tidak bisa lolos dengan membayar pajak yang sangat rendah  atau bahkan tidak membayar pajak sama sekali  di negara-negara di mana mereka mendapatkan keuntungan,” ujarnya.

Moscovoci mengatakan Uni Eropa saat ini telah mengalami kerugian  sebanyak 70 miliar euro dari sektor perpajakan akibat kecurangan sejumlah multinasional tersebut.

Sementara itu, berdasarkan data OECD yang dirilis pada 3 Desember 2015, pendapatan negara-negara anggota OECD dari pajak perusahaan telah mengalami kejatuhan yang cukup dalam sejak krisis ekonomi global melanda. Hal ini menempatkan tekanan lebih besar pada wajib pajak orang pribadi demi mencukupi anggaran beanja pemerintah.

Rata-rata perolehan negara anggota OECD dari pajak pendapatan dan keuntungan perusahaan turun dari 3,6% menjadi 2,8%  terhadap produk domestik bruto (PDB) selama 2007-2014. Sementara itu pendapatan dari pajak individu tumbuh dari 8,8% menjadi 8,9% dan pendapatan PPN tumbuh dari 6,5% menjadi 6,8% dibandingkan periode yang sama.

“Sepanjang 2007-2014, perusahaan terus mencari cara untuk membayar pajak lebih sedikit, sementara itu individu harus menerima tagihan pajak mereka terus meningkat dari tahun ke tahun,” kata Pascal Saint-Amans, Direktur Pusat Kebijakan Pajak dan Administrasi OECD.

Pascal mengatakan beban pajak rata-rata di negara-negara OECD sebenarnya meningkat menjadi 34,4% dari produk domestik bruto PDB pada 2014. Kenaikan 0,2% pada 2014 melanjutkan tren  peningkatan beban pajak rata-rata setiap tahun sejak 2009.

Pada saat itu, beban pajak rata-rata negara anggota mencapai 32,7%. Beban pajak diukur dengan mengambil pendapatan pajak total yang diterima sebagai persentase dari PDB.

Tahun ini, OECD memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia sekitar 3,6% lebih tinggi dari prediksi tahun lalu 2%. Meski demikian, masalah tahun lalu diperkirakan masih menghantui 2016 seperti perlambatan ekonomi China, kebijakan Federal Reserve, dan pelemahan harga komoditas.

Selain itu, dunia usaha juga harus mengatasi perubahan struktur perdagangan dunia yang mengalami penurunan cukup tajam pada tahun lalu.

Sumber: http://finansial.bisnis.com/read/20160129/9/514150/perusahaan-multinasional-oecd-perangi-praktik-kecurangan-pajak

Continue Reading

Sulit Kabur dari Pajak, Akan Banyak Dana Pulang Kampung ke RI Sebelum 2017

Automatic Exchange System of Information atau Sistem Pertukaran Informasi Otomatis akan diberlakukan pada 2017. Otoritas pajak masing-masing negara akan diberikan keleluasaan mengecek dana wajib pajak, yang selama ini ditempatkan di negara lain.

Pemerintah optimistis jelang pemberlakuan tersebut, banyak dana yang akan kembali ke tanah air. Apalagi rencananya tahun ini akan diterapkan kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty untuk wajib pajak yang selama ini belum memenuhi kewajiban.

“Dalam pandangan kami akan efektif, karena Indonesia akan mengalami AEOI 2017. Banyak yang akan memanfaatkan dan membawa kembali dananya ke dalam negeri,” kata Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara, di Graha CIMB Niaga, Jakarta, Jumat (29/1/2016)

Dalam kebijakan tersebut, pemerintah wajib pajak hanya perlu membayar tebusan dengan tarif yang rendah. Ini dihitung berdasarkan nilai dana yang dibawa pulang. Tebusan akan terhitung penerimaan pajak, sedangkan dana yang masuk bisa ditempakan di berbagai instrumen keuangan.

“Dana ini bisa ditempakan pada perbankan Indonesia dan instrumen keuangan lainnya. Itu yang kita kejar, bukan sekedar penerimaan pajak sesaat,” jelas Suahasil.

Pemerintah mengetahui banyak suara yang mengungkapkan besarnya dana yang berada di luar negeri. Mulai dari lembaga riset, analis, kalangan dunia usaha, dan pihak-pihak terkait lainnya. Namun Suahasil mengakui, belum ada angka yang benar-benar tepat.

“Pemerintah sekarang tak memegang satu angka pasti terkait besarnya potensi penerimaan dari tax amnesty. Kita dengar dulu semua, versinya banyak sekali. Tapi nanti saat pembahasan dengan DPR kita akan umumkan besaran targetnya,” tegas Suahasil.

Anggota Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), Destry Damayanti menambahkan, selama ini banyak orang Indonesia meletakkanya dana di luar negeri, karena tiga hal. Pertama adalah kebutuhan bisnis.

“Memang karena kebutuhan bisnis, karena infrastruktur keuangan misalnya Singapura jauh lebih bagus dibandingkan kita. Kedua, instrumen keuangan di luar sana lebih bervariasi,” ujar Destry pada kesempatan yang sama.

Ketiga adalah persoalan pajak. Maka dari itu pengampunan pajak sangat penting bagi pemerintah untuk mendorong dana tersebut kembali balik ke tanah air. “Harusnya kita semua memahami dan melihatnya di luar aspek fairness, semua tax amnesty bisa segera turun,” terangnya.

Destry menambahkan, dana yang masuk harus bisa ditampung untuk mendorong aktivitas perekonomian. Pemerintah juga harus menyiapkan berbagai instrumen agar menarik pemilik dana. Pentingnya dana tersebut seiring dengan kebutuhan pembangunan.

Diketahui dalam RPJMN 2015-2019, kebutuhan dana pemerintah Rp 5500 triliun. Sumber dananya dari APBN 40% dan APBD 9,9%. Sisanya adalah dari BUMN 19% dan kalangan swasta 31%.

“Boleh kita punya ambisi besar, tapi kalau kita nggak punya sumber dana ya percuma. Sektor keuangan itu darah dari perputaran ekonomi,” paparnya.

Sumber: http://finance.detik.com/read/2016/01/29/181313/3130755/4/sulit-kabur-dari-pajak-akan-banyak-dana-pulang-kampung-ke-ri-sebelum-2017

Continue Reading

Perketat Penghindaran Pajak, 31 Negara OECD Teken Kerja Sama

Sekitar 31 negara anggota OECD sepakat membuat peraturan perjanjian perpajakan yang lebih ketat guna menghindari praktek penghindaran pajak yang acap kali dilakukan perusahaan-perusahaan global. Ke-31 negara, termasuk Prancis dan Inggris, sepakat saling bertukar informasi soal aturan perpajakan masing-masing negara.

Selama ini, banyak perusahaan global yang menghindari pajak dengan menyimpan “harta” mereka di negara-negara bebas pajak atau tax heaven. Dengan aturan yang akan segera diteken ini, perusahaan-perusahaan global, seperti Google, Amazon, dan Facebook, harus membayar pajak korporasi dari keuntungan di negara mereka beroperasi.

Perusahaan-perusahaan multinasional ini dikecam karena hanya membayar pajak sedikit atau tidak sama sekali. Padahal mereka meraup keuntungan yang besar setiap tahun.

Angel Gurrfa, Sekretaris Jenderal OECD, mengatakan perjanjian ini diharapkan bisa meningkatkan kerja sama dalam penanganan penghindaran pajak. Dengan aturan pajak yang lebih ketat ini, diharapkan perusahaan multinasional bisa lebih transparan dalam operasional mereka.

Perjanjian yang diteken 31 negara ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan negara-negara maju yang tergabung dalam G-20.

Dalam aturan baru nanti, perusahaan multinasional diwajibkan menginformasikan kepada negara tempat mereka beroperasi soal kewajiban perpajakannya. Informasi tersebut bisa diakses ke-31 negara yang meneken perjanjian.

Sumber: http://bisnis.tempo.co/read/news/2016/01/28/087740103/perketat-penghindaran-pajak-31-negara-oecd-teken-kerja-sama

Continue Reading

Target pajak 2016 mutlak butuh revisi

Pemerintah Jokowi-JK besar kemungkinan akan menurunkan target penerimaan pajak 2016 yang dipatok Rp 1.360 triliun.

Hal ini diamini Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution.

Beberapa waktu lalu ia menyatakan bahwa buruknya realisasi pajak 2015, kemungkinan akan mendorong pemerintah menurunkan target pajak tahun ini lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016.

Jelas, revisi mutlak harus dilakukan, jika melihat fakta bahwa target tahun ini pertumbuhannya mencapai 28,84% dari realisasi pajak tahun lalu.

Catatan Biro Riset KONTAN, dalam 12 tahun terakhir, pertumbuhan target pajak terhadap realisasi tahun sebelumnya rata-rata hanya 19,86%.

Artinya, target tahun ini jauh di atas rata-rata.

Pada saat realisasi pajak melebihi target saja, seperti pada tahun 2004, 2005 dan 2008, pertumbuhan target hanya 14,49%,
24,51% dan 1,10%.

Jangan sampai pemerintahan Jokowi-JK mengulangi kesalahan tahun 2015 yang menetapkan pertumbuhan target 31,38% dari realisasi tahun sebelumnya.

Alhasil, realisasinya jeblok hanya 81,9%.

Bahkan, angka pertumbuhan 31,38% tersebut merupakan yang tertinggi sepanjang 12 tahun terakhir.

Belum lagi melihat kenyataan banyaknya revisi beleid pajak yang tidak berjalan sesuai rencana.

Memang, kalau hanya dilihat dari sisi pertumbuhan target tiap tahunnya, maka pertumbuhan target pajak tahun ini merupakan yang terendah selama 12 tahun terakhir.

Pasalnya, dengan target sebelumnya saja sebesar Rp 1.360 triliun, maka pertumbuhannya hanya 5,08% dari target tahun 2015 yang ditetapkan Rp 1.294,30 triliun.

Apalagi jika diturunkan, maka akan lebih rendah lagi.

Selama periode 2004-2015, pertumbuhan target penerimaan pajak terendah adalah tahun 2014 sebesar 7,75% dengan realisasi 91,86%.

Sedangkan pertumbuhan target tertinggi adalah tahun 2006.

Saat itu penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp 371,71 triliun.

Angka tersebut tumbuh 35,84% dibanding tahun sebelumnya yang dipatok Rp 273,63 triliun.

Meskipun targetnya sangat ambisius, realisasi tahun 2006 bisa dibilang cukup baik yakni 96,37%.

Darussalam, pengamat perpajakan Universitas Indonesia (UI), mengamini bahwa target pajak tahun ini masih terlalu tinggi.

“Harus dilihat dari realisasi tahun sebelumnya, sehingga hitungan targetnya lebih realistis,” ujarnya.

Apalagi secara teori, hitungan persentase pertumbuhan target penerimaan pajak adalah dua kali pertumbuhan ekonomi plus 2%-3% angka extra effort (upaya ekstra).

Jika pertumbuhan ekonomi tahun lalu di angka 5%, maka angka pertumbuhan yang wajar adalah 12%-13%.

Darussalam juga menambahkan, upaya mendesak untuk mencapai target pajak adalah segera melakukan reformasi administrasi Dirjen Pajak dari yang saat ini konvensional menjadi semi independen.

Sehingga Dirjen Pajak bisa memiliki wewenang sendiri dalam hal menentukan Sumber Daya Manusia (SDM), organisasi dan keuangan mereka.

“Membenahi administrasi, untuk saat in jauh lebih penting daripada reformasi kebijakan dan hukum,” pungkasnya.

Sumber: http://nasional.kontan.co.id/news/target-pajak-2016-mutlak-butuh-revisi

Continue Reading

Pemerintah Kejar Pajak dari Penjual di Media Sosial

Pemerintah akan mengejar kewajiban pajak dari transaksi yang dilakukan dengan memanfaatkan media sosial.

“Sekarang banyak yang memanfaatkan media sosial untuk berjualan. Kita akan kejar pajak dari transaksi yang dilakukan di platform itu,” ungkap Kepala Sub Direktorat Pengembangan Penegak Hukum Direktorat Jendral Pajak Yulianingsih, kemarin.

Diungkapkannya, saat ini banyak penjual individu memanfaatkan platform Facebook, Instagram, Blackberry Massenger (BBM) dan yang lainnya untuk berjualan online. “Ini sifatnya personal. Memang agak lebih susah dilacak. Tetapi kita ingin kejar,” katanya.

Dasar dari pengejaran pajak untuk transaksi itu adalah peraturan perundang-undangan pajak dimana  penjual diwajibkan membayar 1% pajak dari omset penjualan Rp4.8 miliar setahun. Peraturan ini berlaku bagi semua ritel baik penjual online ataupun ofline.

“Kita tidak ada beda-bedakan untuk pedagang atau UKM dibebankan pajak 1%. Kalau penghasilannya di atas itu, beda lagi. Ada aturannya,” jelasnya.

Ditambahkannya, pemerintah tengah mengaji keluarnya aturan untuk   pedagang yang menjual sewaktu-waktu, termasuk menjual di media sosial. Jadi semuanya teratur.

“Pedagang pun nantinya diharuskan mendaftar supaya kami memiliki datanya, ini buat ketertiban bersama,” tegasnya.

Sekadar informasi, menurut Bank Indonesia, nilai transaksi eCommerce pada tahun 2014 mencapai US$2,6 miliar atau setara dengan Rp34,9 Triliun.

Berdasarkan data Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia, pelaku ritel di Indonesia maupun di berbagai negara saat ini sedang berupaya merangkul pendekatan multichannel atau offline-to-online (O2O).

Dari data yang dimiliki oleh Dirjen Perdangangan, menunjukkan  80%  peritel mengakui persentase jumlah penjualan online meningkat dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 25%.

Selain isu pajak, eCommerce di Indonesia masih dihantui masalah operasional dan logistik  untuk memenuhi permintaan konsumen belanja online di Tanah Air.

Pelaku eCommerce di Indonesia dihadapkan dengan isu logistik operasional yang lebih menantang dengan 17.000 pulau yang tersebar dalam 5 juta kilometer persegi disamping ada potensi 8,7 juta masyarakat  akan melakukan belanja online pada tahun 2016.

Penetrasi dari eCommerce di Indonesia tahun ini diperkirakan mencapai 13,4% atau setengah dari penetrasi eCommerce di Tiongkok saat ini.

Pemain eCommerce pun sudah mulai masuk ke tahap monetisasi seperti yang dilakukan OLX dengan memasang tarif iklan bagi pemasang. OLX yang dulu dikenal dengan Tokobagus mulai menerapkan skema berbayar untuk kategori iklan properti.

Saat ini diperkirakan jumlah pengunjung OLX mencapai tiga miliar per bulannya dimana 90%  berasal dari perangkat mobile. Diprediksi pengunjung OLX bisa mencapai 4 juta dan 1.500 iklan per harinya.

Sumber: http://www.indotelko.com/kanal?c=ecm&it=Pemerintah-Kejar-Pajak-Penjual-Media-Sosial

Continue Reading

Intai Wajib Pajak, Fiskus Dibekali Ilmu Intelijen

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) meminta Kepolisian Republik Indonesia (Polri) membekali petugas Direktorat Jenderal Pajak (fiskus DJP) ilmu intelijen guna membongkar praktik kejahatan perpajakan yang berpotensi mengurangi penerimaan negara.

Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro mengatakan, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti telah sepakat untuk melatih dan membekali fiskus sejumlah ilmu intelijen yang selama ini diterapkan oleh Kepolisian.

“Di era modern makin canggih, kejahatan juga semakin canggih. Kalau pegawai pajak masih berdasarkan ilmu masa lalu, kita bisa kehilangan penerimaan negara,” jelas Bambang, Selasa (19/1).

Mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) berpendapat, tingkat kepatuhan masyarakat Indonesia dalam membayar pajak masih sangat rendah. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya terobosan untuk meningkatkan kepatuhan tersebut demi mengamankan penerimaan Negara.

Bambang menyebut selama ini fiskus selalu diintimidasi oleh wajib pajak (WP) potensial yang mengaku memiliki perlindungan keamanan dari oknum polisi pada saat menagih pajak. Intimidasi tersebut dirasakan meningkat seiring dengan tingginya upaya DJP melakukan intensifikasi pemungutan pajak.

“Di masa lalu fiskus berhadapan dengan preman dari WP, mengancam petugas pajak. Pada saat itu, petugas pajak tidak punya backing,” ujar Bambang.

Maraknya intimidasi dan ancaman yang dilakukan oleh WP itu juga diakui oleh Kapolri. Badrodin menyebut sejak 2012, Kemenkeu dan Kepolisian telah menjalin kerjasama perlindungan dan pengawalan fiskus dalam nota kesepahaman bersama (MoU).

Namun tingkat dan modus kejahatan pajak semakin canggih seiring berjalannya waktu. Hal itu karena menurutnya banyak WP di Indonesia yang belum patuh dan menyadari manfaat pajak bagi sebuah negara.

“Selama ini berjalan cukup baik dalam penagihan pajak. Namun banyak pengusaha pengusaha kita yang bandel, menunggak pajak, kalau dengan pendekatan biasa saja tidak bisa. Oleh karena itu MoU diperpanjang dengan kesepakatan mengajarkan ilmu intelijen,” ujar Badrodin.

Sumber: http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20160119185122-78-105392/intai-wajib-pajak-fiskus-dibekali-ilmu-intelijen/

Continue Reading

Polri Siap Bantu Fiskus Tagih Tunggakan Pajak

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) siap membantu Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menagih dan menyidik penunggak pajak. Sebagai langkah awal, Polri akan mendukung pertukaran data informasi intelijen terkait Wajib Pajak (WP) guna menyukseskan kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty).

Kapolri Badrodin Haiti menyebut kepolisian siap melakukan pertukaran data informasi intelijen terkait Wajib Pajak (WP) calon penerima fasilitas amnesti jika dibutuhkan oleh DJP.

“Ya bisa saja, mulai tukar menukar informasi intelijen, kemudian membantu Ditjen Pajak menagih pajak dan dalam asistensi penyidikan,” ujar Badrodin ditemui usai penadatanganan nota kesepahaman di kantor pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Selasa (19/1).

Badrodin mengatakan, pada dasarnya Kepolisian memiliki tugas yang memang difokuskan membantu program prioritas yang dijalankan oleh pemerintah. Hal itu termasuk juga program tax amnesty yang memang menjadi andalan pemerintah dalam menggenjot target penerimaan pajak tahun ini yang mencapai Rp 1.360,2 triliun.

Namun, ia tidak dapat menjelaskan rencana program Kepolisian terkait tax amnesty lebih jauh karena payung hukum tax amnesty sendiri belum tuntas dilegalkan parlemen.

“Kalau dalam praktik ada masalah terkait tax amnesty akan dibicarakan kemudian,” ujarnya.

Pada kesempatan yang sama, Menteri Keuangan Bambang P.S Brodjonegoro menyebut kebijakan tax amnesty bersifat sukarela (voluntary). Artinya, pemerintah tidak akan memaksa para WP untuk mendaftarkan diri sebagai penerima amnesti dikemudian hari.

Namun, ia menegaskan tahun ini merupakan tahun penegakan hukum Dijten Pajak, sehingga substansi hukum dalam upaya pemungutan pajak akan lebih gencar dari tahun lalu.

“Di 2015 kan tahun pembinaan pajak, tahun ini penegakan hukum. Untuk itu, UU tidak akan cukup tanpa kerjasama dengan pihak terkait,” jelasnya.

Sumber: http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20160119190740-78-105398/polri-siap-bantu-fiskus-tagih-tunggakan-pajak/

Continue Reading

Pemerintah Pastikan Pajak E-Commerce Asing Lebih Besar

Pemerintah tengah mengkaji potensi penerimaan pajak dan besaran pungutan pajak dalam kegiatan perdagangan elektronik (e-commerce).

Hal itu dilakukan menyusul adanya penyusunan road map  menenai bisnis e-commerce.

“Pasti (kena pajak),” kata Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro usai menghadiri rapat koordinasi tingkat menteri di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Kamis (14/1).

Bambang mengungkapkan, seiring dengan adanya kajian mengenai potensi penerimaan pajak dalam kegiatan perdagangan elektronik pemerintah memastikan bakal mengenakan pajak lebih besar kepada para pelaku e-commerce asing, dibandingkan pelaku e-commerce nasional.

Namun ia bilang pemerintah mengaku belum mengambil keputusan menyoal mekanisme pungutan, serta proporsi pengenaan pajak penjual atau pun pembeli.

“Kami susun asing yang (kena pajak) besar,” ujarnya.

Berangkat dari hal ini Bambang pun belum bersedia menyebut potensi penerimaan pajak dari kegiatan e-commerce yang akan diterima negara.

“Belum ketahuanlah (potensi peneriman pajaknya),” tutur mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal ini.

Ditemui terpisah, Staf Ahli Bidang Penerimaan Negara Kementerian Keuangan  Astera Primanto Bhakti mengungkapkan pemerintah sendiri telah memberikan perhatian khusus pada aktivitas perdagangan digital lintas negara atau crossborder.

“Nanti kan dilihat bagaimana perbedaan pengenaan pajaknya antara orang yang beli dari Indonesia sama orang yang beli dari luar negeri kan. Harusnya kan ada equality,” ujarnya.

Astera menjelaskan, dari upaya ini negara akan menerima tambahan pemasukan yang besar dari kegiatan e-commerce.

“Potensi exact-nya mungkin masih belum bisa precise tapi kan ini kelihatannya potensinya besar. Kita lihat aja coba kaya Google, Facebook, ada iklan-iklan,’ ujarnya.

Sumber: http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20160115092325-78-104495/pemerintah-pastikan-pajak-e-commerce-asing-lebih-besar/

 

Continue Reading